"Assalamualaikum Mba Rugayah!"
Sebuah salam hadir membuyarkan perdebatan seorang Ibu dan wanita yang memperebutkan Rugayah untuk merias acara pengantin yang ingin mereka adakan. Rupanya Evi, asisten Makeup pengantin Rugayah yang datang bersama dua orang wanita.
Anak gadis yang bersama Ibunya spontan berdiri, dan menarik tangan Ibunya, memaksa meninggalkan tempat itu. Dengan terburu-buru ibu itu berpamitan pada Rugayah, menyisakan kebingungannya pada perilaku anak gadisnya.
Sementara wanita yang tadi berdebat dengan Ibu itu tersenyum senang.
Rugayah berusaha menahan dirinya yang mendadak merasa panas dingin dan pundaknya yang terasa berat, dengan bersikap biasa.
Evi mempersilahkan kedua wanita itu masuk dan memperkenalkan Rugayah pada mereka.
"Mba! Ini ada orang mau pakai jasa Mba Rugayah untuk acara pernikahan."
"Oh iya, tapi sebentar saya ke dalam dulu."
Rugayah buru-buru masuk ke dalam kamarnya.
Keringat dingin membuat tubuhnya terasa tak nyaman, di tambah pundaknya yang terasa berat.
"Cari obat Mama ya? " Tanya Halimah yang sedang tiduran di kamar Rugayah sembari menonton televisi, ketika melihat Mamanya sedang mencari sesuatu di lemari baju miliknya.
"Nah ini dia!" Batin Rugayah, ketika menemukan seplastik kecil pil berwarna hitam yang di carinya.
"Tolong, ambilkan Mama air minum sayang," Perintah Rugayah pada putrinya.
Tanpa membantah Halimah bergegas ke dapur, dan segera kembali membawakan segelas air.
Rugayah segera mengeluarkan salah satu pil dan meminumnya.
Di tahannya rasa mual ketika meminum pil yang berbau anyir tersebut.
"Badan Mama sakit lagi ya, sampai minum pil buatan nenek Inah,"
Nenek Inah tak lain adalah Mak Sarinah, Halimah sedari kecil terbiasa memanggilnya dengan sebutan Nenek Inah.
Halimah menatap Mamanya sendu, seperti tak tega melihat keadaan Mamanya.
"Iya sayang, ini sudah mulai enakan. Berkat pil buatan nenek Inah."
"Tapi itu pil kotor Mama, Halimah gak suka melihat Mama meminumnya."
"Ssttt... Halimah! Gak boleh bilang begitu. Sudahlah Mama sedang ada tamu."
Rugayah meninggalkan putrinya dan segera kembali menemui tamunya.
Akhirnya setelah bernegosiasi, Rugayah menyanggupi untuk merias pengantin di acara tamu-tamunya.
Mereka pun pulang dengan lega menyisakan Rugayah dan Evi di ruang tamu.
"Nanti saya catat ya Mba, jadwal kita merias pengantin biar tidak lupa, oh ya Mba, untuk dua bulan ke depan ini jadwal kita padat, jaga kesehatan ya Mba."
"Iya Evi sayang, sok perhatian kamu."
"Bukan gitu Mba Rugayah, tapi saya perhatiin Mba Rugayah kayak sedikit pucat dan hmmm..."
"Hmm.... apa? " Rugayah memutus ucapan Evi.
"Aah.. Enggak apa-apa Mba. Ohya saya pulang dulu ya Mba, sudah sore."
Rugayah mengangguk.
Rugayah senang mempekerjakan Evi, asistennya yang rajin dan dapat di percaya. Evi sendiri bertugas untuk merias pagar ayu dan keluarga pengantin. Sementara Rugayah khusus untuk menangani pengantin.
Sepeninggal Evi, Rugayah duduk di depan meja riasnya. Melihat wajahnya yang memang nampak pucat. Rugayah menghapus perlahan makeup yang menghiasi wajahnya dan baru menyadari wajahnya nampak terlihat semakin tua tanpa makeup. Padahal umurnya baru menginjak 35 tahun.
"Mah! Apa Mama terlihat tua ya kalau gak pakai makeup?" Tanya Rugayah pada putrinya.
Halimah yang masih asyik menonton televisi menoleh ke arah Mamanya.
"Iya sih, tapi Halimah gak peduli, yang penting Mama sehat dan mau kerja yang baik. Biar Mama sudah tua, Halimah tetap sayang sama Mama."
"Kenapa sih Halimah mengurusi kerja Mama terus!" Ujar Rugayah ketus.
"Ma! Mama lupa, Halimah ini sekolah di Madrasah Ma, Halimah bukan anak kecil lagi, di sekolah Halimah diajarkan tentang apa itu dosa jadi Halimah bisa tahu mana yang baik dan buruk."
Rugayah tertegun mendengar ucapan anaknya, tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut putrinya.
"Halimah gak sengaja, waktu pulang sekolah mampir tempat Nenek Inah, rumahnya sepi. Halimah nyari Nenek Inah dan melihat apa yang sedang di lakukan Nenek Inah, Halimah jadi tahu dari bahan apa alat rias pengantin Mama."
Sekali lagi Rugayah terhenyak mendengar penuturan putrinya. Rugayah mendekati putrinya.
"Halimah, apapun nak, yang kamu ketahui. Tolong! Jangan ceritakan pada siapa pun, termasuk Ayahmu. Mama tahu ini salah, tapi cuma ini yang Mama bisa lakukan untuk saat ini."
Tiba-tiba tanpa di duga Rugayah, ada butiran airmata menetes di pipi putrinya.
"Belum terlambat Ma, sadar dan tinggalkan pekerjaan Mama, Halimah takut terjadi sesuatu pada Mama. Nenek Inah sudah membantu Mama berbuat dosa."
"Halimah! Sudahlah jangan berkata seperti itu lagi."
Halimah menghapus air matanya. Rugayah yang tak tega memilih keluar kamar meninggalkan putrinya.
-----------------
Musik electone terdengar meriah, meski cuaca panas terik di siang hari. Para tamu berdatangan silih berganti, dan tak lupa mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.
Seperti yang di harapkan Rugayah. Berbagai pujian mengalir pada sang pengantin yang terlihat cantik dengan aura yang memancar.
Evi sang asisten mendekati Rugayah.
"Mba! Sudah ada beberapa orang yang bertanya pada saya. Sepertinya kita akan mendapat job baru lagi," Ujar Evi di tengah suara bising musik electone.
Rugayah tersenyum lebar menanggapinya.
--------------
Rugayah sedang menghitung emas yang di belinya beserta pendapatan dan tabungannya. Wajahnya sumringah meneliti jumlah tabungannya.
"Cukuplah buat merenovasi rumah dan membeli mobil untuk ku pakai jalan bersama Halimah. Dan sisanya akan aku ajak Halimah jalan-jalan keluar kota. Semoga saja anak itu mau." Pikir Rugayah.
Suasana rumah terlihat sepi. Sementara Halimah sedang di rumah Ayahnya. Meski telah bercerai, Rugayah dan Parji sepakat untuk memberi kebebasan pada Halimah, bila mau bertemu Ayahnya.
Parji pun tak pernah melupakan tanggung jawabnya dan masih tetap menafkahi Halimah, meski kerap, di tolak oleh Rugayah.
Suara Mak Sarinah dari luar rumah mengagetkan Rugayah.
Rugayah buru-buru keluar kamar bermaksud menemui Mak Sarinah.
"Masuk Mak! " Sambut Rugayah. Rugayah menyipitkan matanya memperhatikan Mak Sarinah yang terlihat lain.
Sementara Mak Sarinah masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi, memperhatikan suasana rumah yang sepi.
"Kemana Halimah?"
"Ke tempat Ayahnya Mak. Saya sendirian."
"Ooh.."
Mak Sarinah mengangguk.
"Mak mau minta jatah Mak, Mak ada perlu buat tambahan beli bahan bangunan."
"Tentu Mak, Rugayah sudah siapkan. Sebentar ya Mak."
Rugayah beranjak masuk ke kamarnya.
"Kok Mak terlihat lain ya, kelihatan seperti lebih muda. Apa Mak berdandan ya?" Batin Rugayah.
Rugayah menepis lamunannya dan segera keluar menemui Mak Sarinah.
Wajah Mak sumringah menerima amplop tebal yang di sodorkan Rugayah.
"Mak pulang dulu ya, Mak gak bisa lama-lama."
Rugayah mengangguk.
Ketika hendak pergi, salah seorang tetangga Rugayah yang juga mengenal Mak Sarinah menyapanya.
"Mak Sarinah ya, pangling saya, lama gak ketemu kok keliatan lebih muda," Ujarnya.
Rugayah yang ingin menutup pintu pun terkesima.
"Tak salah, Mak memang keliatan lebih muda," Pikir Rugayah.
Mak Sarinah buru-buru pergi. Sampai di persimpangan jalan Mak Sarinah berpaling ke arah rumah Rugayah.
"Rugayah bodoh, ku buat kau kaya, tapi kau tak tahu sudah ku manfaatkan," Ujarnya dengan tersenyum jahat.
-------------
Sementara di tempat lain, Halimah sedang di rumah Parji, Ayahnya.
"Yah, Halimah boleh tambah gak?"
"Boleh dong sayang, makan yang banyak. Nanti kalau sudah mau pulang bilang ya, biar Ayah antar pulang."
"Oke!"
Menik istri Ayahnya mendekati Halimah.
"Kapan saja Halimah mau kemari, datang saja ya nduk. Halimah juga kalau mau makan apa aja bilang ya, nanti Tante masakan."
Menik selalu bersikap manis pada Halimah, dan menyayangi Halimah seperti putrinya sendiri.
Awalnya Halimah tak bisa menerima Menik, karena menganggap Menik adalah orang yang memisahkan Ayah dan ibunya.
Namun perlakuan Menik padanya, membuat Halimah perlahan-lahan bisa menerima Menik sebagai ibu sambungnya.
Halimah mengangguk senang. Halimah menatap ke arah perut Menik, ibu sambungnya.
"Tante lagi hamil ya?"
"Iya, sayang. Halimah mau punya adik," Parji Ayahnya yang menjawab.
"Halimah mau gak, nanti kalau adiknya sudah lahir tinggal di sini?" tanya Menik.
"Gak tante, kasihan Mama, gak ada temannya."
"Oh ya sudah kalau gitu," sahut Menik.
Menik menatap suaminya Parji.
"Mas, besok saya ke tempat Mbok Parinem ya, sudah waktunya urut perut lagi, biar nanti lahirannya lancar." Parji mengangguk. Mendengar nama Mbok Parinem. Tiba-tiba Halimah menghentikan makannya.
"Mbok Parinem? Mbok Parinem tukang urut bayi yang tinggal di dukuh bambu yang Tante?"
"Iya, kok Halimah tahu?"
" Jangan! Jangan Tante, jangan lagi urut di sana! "
Parji dan Menik saling pandang tak mengerti maksud Halimah.
"Kenapa memangnya Halimah?" tanya Ayahnya dengan raut wajah bingung.
"Pokoknya, Tante gak boleh urut di sana lagi!"
Bersambung...
By, Siska Ika