Jejak yang Hilang

Namanya Muhammad Arya. Seorang lelaki muslim yang bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar. Namun, hari liburnya ini dia habiskan dengan membaca buku filsafat di kamar. Dia memiliki kekasih namanya Kayla Arseniy. Mereka berdua telah menjalin kasih selama kurang lebih enam bulan, dan mereka sama-sama tahu jika keyakinan mereka tidak sama, tetapi masih nekat menjalin hubungan.

Di tengah fokusnya membaca, dering ponsel mengalihkan perhatian Arya dari buku yang sedang dia baca itu. Lelaki berparas tampan itu melirik ke arah ponsel, ternyata gadis yang dia cintai menelepon, tanpa pikir panjang dia pun langsung mengangkatnya.

"Halo, Sayang," ucap Arya setelah dia mengangkat panggilan dari sang kekasih.

"Halo, Arya," jawab sang kekasih dari ujung telepon.

"Ada apa? Nggak biasanya kamu telfon aku duluan," tanya Arya lagi, mengingat kekasihnya yang memang tidak pernah menelepon terlebih dahulu.

"Sayang, aku mau ngomong sama kamu, penting!" seru sang gadis yang bernama Kayla.

"Ya udah sih, tinggal ngomong aja susah banget perasaan." Arya langsung to the point pada sang kekasih.

"Ini nggak bisa diomongin di telepon. Kita ketemuan sekarang di taman biasanya yah," jawab Kayla dengan nada yang begitu menggebu.

Baca Juga : Bukan Tentang Angka Semata

"Ya udah, aku ke sana sekarang." Arya pun langsung mengiakan.

Hanya dengan jawaban oke, Kayla langsung mematikan panggilannya pada lelaki bernama Arya tadi.


Tak perlu bersiap lama, Arya hanya menyemprotkan sedikit parfum ke lehernya agar sedikit wangi. Lantas dia langsung pergi ke tempat yang dijanjikan oleh sang kekasih tadi.

Kedua sejoli itu datang hampir bersamaan dan langsung duduk di bangku taman. Tanpa basa-basi, Arya pun bertanya pada sang kekasih, "Kamu kenapa kaya ada yang penting banget?"

"Penting banget emang." Ucapan Kayla masih menggebu.

"Apa itu?" Arya pun makin penasaran saja dibuatnya.

"Aku mau jadi mualaf," singkat Kayla.

"Alhamdulillah, tapi ini dari hati, atau hanya demi cinta saja?" tanya Arya.

"Dari hati," balas Kayla lagi.

"Kalau begitu, aku mau ke rumah orang tua kamu buat bilang kalau mau nikahin kamu dan kamu juga harus bilang kalau kamu mau jadi mualaf. Setuju?" tawar Arya.


Kayla hanya mengangguk sebagai tanda mengiyakan. Ya, mereka memang sepasang kekasih berbeda keyakinan. Namun, orang tua Arya ingin anaknya menikah dengan gadis muslimah. Kini saat Kayla ingin menjadi mualaf, Arya pun ingin mengutarakan niat baiknya pada orang tua Kayla.

Mereka berdua langsung mengendarai motor masing-masing dan menuju ke rumah keluarga Kayla.

***

Siang pun datang, Arya dan Kayla telah sampai di rumah Kayla. Di sana kebetulan sedang menyiapkan makan siang dan Arya diajak makan sekalian oleh ibunya Kayla.

Arya dan Kayla berjalan menuju ke ruang makan. Kayla sedikit tertegun karena di sana ada kakeknya yang sedang berkunjung. Kayla pun menyalami kakeknya, Arya juga demikian.

"Ini siapa, Kay?" tanya sang kakek.

"Ini pacar Kayla, Kek. Namanya Arya." Kayla memperkenalkan Arya. 

Arya pun tersenyum manis.

"Ya sudah, sini duduk, Nak Arya. Kita makan bersama," ajak ibu Kayla.

Sementara itu, ayahnya Kayla memang sedang ada kerjaan di luar kota, jadi mereka hanya makan siang berempat saja, sedangkan nenek Kayla sudah meninggal sejak lama.


Masing-masing dari mereka mengambil nasi dan lauk yang tersedia, setelahnya kakek Kayla langsung berkata, "Arya, silakan pimpin doa."


Seketika Arya pun terdiam. Dia melirik ke arah kekasihnya, Kayla. Namun, Kayla hanya menanggapi dengan anggukan saja.

Dengan berat dan sungkan, Arya mulai menengadahkan tangannya dan mulai membaca basmallah dan diikuti dengan doa sebelum makan. Sontak saja, kakek Kayla membulatkan mata karena terkejut.


 Rahangnya yang sudah mulai berkeriput pun mengencang karena ada sekelumit kemarahan yang disertai kekecewaan. Namun, dia tetap diam dan berdoa menurut kepercayaannya itu.

Denting terdengar setelah kata aamiin diucapkan oleh Arya. Kakeknya Kayla langsung makan dengan dentingan sendok yang beradu dengan piring. Ibunya Kayla sangat tahu jika ayahnya sedang marah, hingga dia memilih tetap diam dan makan.


Beberapa menit saling diam, akhirnya sebuah kalimat pun terlontar dari mulut sang kakek. 

"Sebenarnya saya tidak melarang saat Kayla berteman dengan yang berbeda keyakinan, tetapi untuk menjalin hubungan cinta, sebaiknya jangan." Ucapan sang kakek masih terdengar pelan dan penuh wibawa.


"Kenapa, Kek?" tanya Kayla penasaran.

"Nantinya akan ada sebuah ketidakcocokan, yang satu agama saja banyak perdebatan, apalagi yang berbeda agama. Dan dalam sejarah nenek moyang kita, tidak ada yang menikah dengan selain beragama Nasrani," ucap sang kakek lagi.


"Tapi, Kek—"

Belum selesai Kayla bicara, kakeknya sudah memotong lagi. "Kakek harap, kalian putus saja daripada terlanjur cinta dan sakitnya makin terasa."

"Tapi, Kek. Arya ke sini untuk meminta izin menikahi Kayla."

"Sekali tidak, tetap tidak," tegas sang kakek.

"Maaf, Kek. Tapi lelaki muslim boleh menikah dengan perempuan Nasrani," sahut Arya mencoba memulai membuka suara.

"Ya boleh, tapi di keluarga ini saya tidak memperbolehkan, dan akan lebih baik jika menikah dengan perempuan yang memiliki kepercayaan yang sama denganmu," seru kakeknya Kayla lagi.


"Tapi, Kek, Kayla sudah bertekad untuk menjadi mualaf," sela Kayla pada sang kakek.

"Apalagi itu!" Suara sang kakek makin meninggi. "Jangan pernah kamu mengkhianati Tuhan hanya karena cinta kepada manusia. Nanti kamu akan menyesal, jika itu terjadi jangan mengeluh sama Kakek," lanjutnya.


"Tapi, Kek. Kayla—" 

"Sudah, Kay, jangan membantah ucapan orang tua. Memang ada benarnya yang diucapkan oleh Kakek. Lebih baik kita sudahi hubungan kita. Untuk Kakek juga terima kasih telah mengingatkan saya, terima kasih juga dengan makanannya. Saya pamit." Arya bangkit dan mencoba tersenyum kecut.

"Ya, pulanglah. Masih banyak perempuan yang seiman denganmu yang bisa kau jadikan istri." Kini ibunya Kayla yang menimpali.


"Cinta tanpa restu orang tua saja sudah pasti tidak berjalan dengan baik, apalagi ini tanpa restu orang tua dan tanpa restu Tuhan. Pasti tidak akan berjalan dengan baik. Jika biasanya perbedaan adalah wujud kesempurnaan, tetapi untuk kali ini tidak. Sampai jumpa lain waktu, Kayla," ucap Arya yang kemudian melangkahkan kakinya pergi.


"Arya!" teriak Kayla sembari menangis.

Sementara Arya tetap pada langkahnya keluar dari rumah milik keluarga Kayla, lalu menaiki motor miliknya.


Dia menuju ke tepi pantai dan merenung di sana. Entah berapa lama lelaki itu termenung dengan banyak pikiran yang menggelayut di kepalanya.

Kini, lelaki itu berjalan sendirian tanpa ada gadis yang dicintai lagi di sampingnya yang selama ini membersamai. Mereka memang tidak ditakdirkan bersama, selain tanpa restu orang tua, Tuhan mereka juga tidak sama.


Arya melangkah menikmati senja sore saat itu. "Selamat tinggal, kuharap jika nanti terlahir kembali, aku dan kamu akan saling mencari dan tetap mencintai."

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak